Audio Stream
00 : 00 : 00

Tuhan Adalah Gembalaku
Pengkhotbah 4: 17 - 5: 6
Takutlah akan Allah
Sikap hati untuk datang beribadah yang benar itu ditandai dengan hati yang lebih rindu untuk mendengarkan suara Allah daripada pikiran yang berpusat hanya kepada diri sendiri.
Pernahkah kita memiliki momen silent atau hening dalam hidup kita? Sadar tidak sadar, kehidupan kita itu selalu dikelilingi oleh banyak suara.
Entah itu bunyi kendaraan, suara radio di mobil, suara orang berbicara, bahkan dalam ibadah sekalipun kita lebih banyak mendengarkan suara daripada momen hening.
Bukan berarti ini adalah sebuah keadaan yang salah, karena kita pun diciptakan dengan mulut yang harus mengucapkan kata-kata.
Tetapi ini menjelaskan tentang kehidupan kita yang disibukkan dengan keberadaan duniawi dan kemajuan teknologi yang membuat telinga kita rasanya asing kalau benar-benar hening.
Bayangkan jika kita disuruh berada dalam sebuah ruangan yang hening tanpa ada siapa pun, lalu disuruh berdiam di sana.
Mungkin untuk lima menit saja kita rasanya sudah gelisah, “Kapan ya keheningan ini akan berakhir?” karena kita tidak terbiasa untuk berada di dalam sebuah keheningan.
Di tengah-tengah kebisingan hidup, Pengkhotbah hendak menyatakan kepada kita bahwa sebagai orang percaya, seharusnya kita lebih banyak berdiam dan mendengarkan suara Tuhan lebih daripada kita berkata-kata atau mengucapkan hal yang sia-sia.
Pengkhotbah 4: 17 - 5: 6
1 (4-17) Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah! Menghampiri untuk mendengar adalah lebih baik dari pada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat.
2 (5-1) Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit.
3 (5-2) Karena sebagaimana mimpi disebabkan oleh banyak kesibukan, demikian pula percakapan bodoh disebabkan oleh banyak perkataan.
4 (5-3) Kalau engkau bernazar kepada Allah, janganlah menunda-nunda menepatinya, karena Ia tidak senang kepada orang-orang bodoh. Tepatilah nazarmu.
5 (5-4) Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar tetapi tidak menepatinya.
6 (5-5) Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah berkata di hadapan utusan Allah bahwa engkau khilaf. Apakah perlu Allah menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan pekerjaan tanganmu?
7 (5-6) Karena sebagaimana mimpi banyak, demikian juga perkataan sia-sia banyak. Tetapi takutlah akan Allah.
Setelah kita melihat bagian-bagian sebelumnya, di mana meskipun Pengkhotbah itu tidak menyebutkan banyak tentang Allah di sana,
kita bisa merasakannya bahwa Allah adalah Allah yang pada akhirnya akan menghakimi seluruh perbuatan manusia.
Allah adalah Allah penguasa yang memberikan segala sesuatu bagi manusia untuk dinikmati.
Oleh karena itu, bagian yang kita baca ini menggambarkan kepada kita bagaimana kita bisa mendekat kepada Allah yang Mahakudus — yang berada di langit, yang di surga, yang berkuasa, yang menghakimi perbuatan manusia —
dan kita tidak bisa datang kepada-Nya dengan santai saja, tapi perlu dengan kekudusan dan kebenaran.
Inti dari perikop yang kita baca tadi adalah: kalau kita mau datang kepada Allah, maka mendekat untuk mendengar itu lebih baik. Pengkhotbah membandingkan dengan mereka yang dikatakan bodoh, yang mempersembahkan kurban tetapi tidak tahu bahwa mereka berbuat jahat.
Tidak tahu berbuat jahat di sini maksudnya adalah mereka berbuat dosa, tapi mereka tidak tahu bahwa itu adalah sebuah kesalahan.
Mereka pun tidak datang kepada Allah dengan intensi untuk sungguh-sungguh, dengan kekaguman dan dengan kehormatan kepada Allah.
Mungkin nampaknya baik ketika dikatakan bahwa mereka mempersembahkan korban.
Tapi kata dalam bahasa aslinya menjelaskan tentang orang yang mempersembahkan kurban tetapi kemudian dagingnya dimakan setelah dijadikan korban,
bukan korban yang habis di dalam mezbah kemudian menjadi persembahan yang habis bagi Tuhan.
Maka mereka ini dikatakan jauh dari ketulusan hati untuk mempersembahkan kepada Tuhan dan malah menyalahgunakan persembahan itu.
Oleh karena itulah Pengkhotbah mengatakan, “Jagalah langkahmu ketika engkau berjalan ke rumah Allah.”
Artinya, setiap kali kita datang ke rumah Allah, kita harus memiliki hati yang siap untuk mendengarkan — lebih daripada kita membawa kurban atau mempersembahkan diri tapi dengan hati yang tidak diserahkan kepada Allah.
Di pasal 5 ayat 1, Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh terburu-buru mengucapkan sesuatu di hadapan Allah ketika kita berjumpa dengan-Nya.
Ketika kita datang kepada Allah dalam ibadah, sering kali kita sudah tahu mau ngomong apa sama Tuhan, tapi kemudian kita hanya membiarkan Allah menjawab doa kita sesuai dengan apa yang kita harapkan saja.
Tapi Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa untuk memberitahukan kepada Allah apa yang kita mau untuk Ia dengar. Karena Allah ada di surga dan kita di bumi.
Dialah Allah yang mengetahui semua, melihat seluruh perbuatan manusia, dan melihat gambaran besar kehidupan manusia, sedangkan kita tidak.
Maka kita diperingatkan untuk lebih sedikit berkata-kata dan lebih banyak mendengarkan apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada kita.
Di ayat 3 sampai 6, kita diingatkan juga bagaimana kita harus bijaksana dalam berkata-kata, secara khusus ketika kita mengucapkan nazar atau berjanji di hadapan Allah.
Mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita jarang membuat janji, tapi kadang ada situasi tertentu yang membuat kita terdesak hingga akhirnya membuat janji kepada Allah.
Misalkan kita berkata, “Tuhan, aku janji deh aku akan begini-begini kalau Tuhan begini-begini.” Atau, “Tuhan, kalau Engkau mau begini-begini, aku janji deh aku akan begini-begini.”
Sering kali dalam keadaan yang terdesak atau terhimpit, kita butuh banget Tuhan tolong, barulah kita bikin janji sama Tuhan.
Tapi Pengkhotbah mengingatkan kita: Allah tidak suka dengan kita yang gagal menepati janji, kemudian berkata-kata sia-sia, dan menampiknya dengan bilang bahwa kita khilaf.
Seluruh perkataan kita itu seharusnya dipertanggungjawabkan dengan baik di hadapan Allah yang benar.
Kalau kita kembali melihat kepada kehidupan kita, ketika selama ini datang ke gereja dalam kehidupan beribadah kepada Tuhan, apakah kita lebih banyak berbicara kepada Tuhan?
Lebih banyak mengeluh, lebih banyak meminta-minta daripada mendengarkan apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada kita?
Bukan berarti ketika kita berbicara kepada Tuhan itu salah. Bukan demikian. Tentu Allah menciptakan kita dengan mulut supaya kita bisa berkata-kata dan berkomunikasi kepada Tuhan kita.
Tapi Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa kata-kata kita sebagai manusia itu penuh dengan kelemahan dan sering kali minim pertanggungjawaban dan pengetahuan.
Padahal ketika kita berkata-kata di hadapan Allah, Ia adalah Allah yang kudus, yang menciptakan langit dan bumi.
Maka seharusnya kata-kata kita itu penuh dengan penghormatan dan pengagungan kepada Allah kita.
Biarlah ini menjadi pengingat bagi kita bahwa ketika kita datang ke rumah Tuhan untuk beribadah
— atau bahkan di mana pun kita berada — kita perlu memiliki hati yang selalu tulus dan murni di hadapan Tuhan, yang rindu untuk selalu mendengar apa yang ingin Tuhan sampaikan kepada kita.
Karena seluruh perkataan kita dan seluruh sikap hati kita semuanya sudah diketahui oleh Allah.
Dan Ia mau supaya kita sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan dengan baik kata-kata kita di hadapan Nya.
Karena semua kata-kata kita akan berada di dalam penghakiman nantinya dan akan dihakimi oleh Allah satu per satu.
Jangan sampai ketika kita dihakimi oleh Allah, Ia menjumpai kita sebagai orang yang munafik — yang lebih penuh dengan kecintaan terhadap diri sendiri daripada mendengarkan suara Allah.
Oleh karena itu, biarlah hari ini kita kembali diingatkan untuk mau selalu mencari dan mendengar suara Tuhan serta menaati suara Tuhan dalam hidup kita.
Demikianlah juga kita belajar untuk menghormati Tuhan dan mengagungkan Tuhan melalui kata-kata yang dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Biarlah Roh Kudus yang selalu menolong kita agar di dalam perkataan dan sikap kita, kita boleh selalu berhikmat di dalam Tuhan.
Doakan dan renungkan
* Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah!
* Menghampiri untuk mendengar adalah lebih baik dari pada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang yang tidak tulus.
Jiwaku, mari dengarkan Tuhan